ANALISIS DAN PERSPEKTIF : UNI EROPA MELARANG, INDUSTRI SAWIT MERADANG?
A. Latar Belakang Larangan Minyak Sawit Oleh
Uni Eropa
Minyak kelapa sawit merupakan salah
produk atau komoditas andalan negara Republik Indonesia sebagai negara
pengekspor bahan mentah yang juga merupakan penyumbang terbesar dari devisa
negaranya.
Akan tetapi, komoditas andalan Indonesia yang satu ini menerima
ancaman dari luar negeri, dimana Uni Eropa secara tegas melarang penggunaan
komoditas tersebut sebagai bahan baku untuk bahan bakar. Hal ini berawal dari statement yang dikeluarkan oleh Uni
Eropa yang mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan penyebab dari meningkatnya
emisi karbondioksida (CO2).
Indonesia yang dikenal sebagai paru
– paru dunia karena alamnya yang memukai, namun di sisi lain juga merupakan
salah satu negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Tingginya
tingkat produksi minyak sawit ini tentunya menyebabkan kebutuhan akan lahan
perkebunan sawit yang semakin luas. Perluasan lahan inilah yang kemudian
menyebabkan terjadinya deforestasi atau
penebangan hutan yang tentunya dapat merusak kualitas udara dunia khususnya di
Indonesia.
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB)
atau United
Nation (UN) mengatakan bahwa produksi minyak sawit yang tinggi merupakan
penyebab utama terjadinya deforestasi di Indonesia yang kemudian deforestasi
ini mengakibatkan peningkatan emisi karbon (CO2) seperti yang telah disebutkan
sebelumnya yang kemudian lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perubahan
iklim, banjir, kekeringan serta kelaparan.
Selain itu, Uni Eropa pun
mengatakan akibat dari deforestasi tersebut berdampak pada hilangnya habitat
orang hutan, hingga diprediksi produksi minyak kelapa sawit dalam 16 tahun ke
depan menyebabkan populasi orang hutan berkurang hingga mencapai 100 ribu ekor
Meskipun begitu, isi laporan International Energy Agency (IEA)
ditahun 2016 lalu membantah tuduhan dari Uni Eropa tersebut terhadap Indonesia.
Menurut laporan tersebut, mengungkapkan bahwa penyumbang terbesar dari
meningkatnya emisi karbon ialah bahan bakar fosil.
Sebagai catatan, Uni Eropa
menyumbang emisi karbon yang berasal dari bahan bakar fosil hinga mencapai 3,1
gigaton , sedangkan Indonesia hanya menyumbang 0,4 gigaton. Dari bantahan
tersebut timbul sebuah pertanyaan, apakah semua alasan dan tuduhan Uni Eropa
tersebut benar juga murni demi kelestarian alam atau terdapat unsur kepentingan
internal Uni Eropa di dalamnya?
Realitanya, perkebunan dan
pertanian jagung, kedelai, kanola, gandum dan bunga matahari di Uni Eropa pun
membutuhkan lahan yang lebih luas daripada kelapa sawit. Dengan kata lain, mereka
pun melakukan reforestasi.
Sebagai informasi bahwa jumlah permintaan
akan minyak sawit Indonesia di Uni Eropa pun tinggi mengalahkan jumlah
permintaan produk minyak nabati yang diproduksi di dalam Uni Eropa itu sendiri,
tentunya ini sangat tidak menguntungkan bagi para petani dan perekonomian Uni
Eropa dimasa yang akan datang. Inilah yang menjadi penyebab mengapa ditahun
2017 parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghapus dan melarang
penggunaan minyak sawit.
Sebagai informasi tambahan, negara –
negara yang merupakan tujuan ekspor kelapa sawit Indonesia ialah China, Uni Eropa,
India, Amerika Serikat, Pakistan, Bangladesh, Timur Tengah dan Afrika dengan
jumlah ekspor terbesar pada semester pertama tahun 2019 adalah China, lalu
diposisi kedua Uni Eropa dan diposisi ketiga ialah India. Akan tetapi ditahun
2017 dan 2018 lalu, India berada diposisi pertama dan Uni Eropa berada di
posisi kedua dan diposisi ketiga ialah China.
B. Sikap Pemerintah Indonesia Terhadap
Larangan Uni Eropa
Keputusan dan kebijakan Uni Eropa
yang melarang minyak sawit tersebut tentunya akan sangat berdampak pada
perekenomian di Indonesia dimana seperti yang sudah disebutkan bahwa Indonesia
merupakan negara pengekspor komoditas bahan mentah yang mana minyak kelapa
sawit merupakan produk andalannya, khususnya bagi industri atau pelaku usaha
kelapa sawit di Indonesia.
Tentunya hal ini mengundang
perhatian pemerintah Indonesia khususnya Presiden Jokowi. “Tentunya, Indonesia tidak akan tinggal diam menyikapi diskriminasi ini”
ujar Presiden Republik Indonesia, Jokowi. Tidak hanya sindiran halus yang
diberikan oleh Presiden Jokowi, juga terdapat komentar yang menurut penulis
sangat tegas dan menantang.
Komentar tersebut datang dari seorang Jusuf Kalla dimana ia berkata “Kalau kita tidak beli Airbus lagi, itu juga
hak kita. Kalau Uni Eropa memiliki hak membuat aturan, kita juga punya hak
bikin aturan.”. Kedua komentar tokoh Indonesia tersebut mengindikasikan
akan adanya sebuah langkah retaliasi
apabila nantinya Uni Eropa merealisasikan kebijakannya tersebut yang rencananya
akan diumumkan di bulan Desember tahun 2019.
Menurut penulis pribadi, alangkah
lebih baiknya jika kedua belah pihak, baik Pemerintah Indonesia maupun Uni
Eropa untuk menemukan win win solution
yang tentunya saling menguntungkan agar tidak memperburuk tekanan perekonomian
dometik maupun perekonomian dunia. Sudah cukup masyarakat pada umumnya, juga
dunia bisnis khususnya, mendapat tekanan yang begitu berdampak bagi
kelangsungan hidupnya akibat perang dagang yang di deklarasikan oleh Presiden
Amerika Serikat, Donald Trump.
Comments
Post a Comment