ANALISIS DAN PERSPEKTIF : ANALISA PROSPEK DAN PREDIKSI EKONOMI INDONESIA TAHUN 2019
Gross Domestic Poduct : By Indra Y.P
A. Pertumbuhan Ekonomi dan Neraca
Perdagangan
Kinerja ekonomi Indonesia mulai menunjukkan
adanya perbaikan dengan PDB sebesar 5,02% di tahun 2016, setelah sebelumnya di
tahun 2015 hanya mencapai 4,88% akibat adanya penurunan kinerja ekspor seiring
dengan menurunnya harga komoditas yang merupakan andalan Indonesia. Salah
satunya komoditas batu bara dalam bursa CME Amerika Serikat yang terus
mengalami penurunan sepanjang 2015 hingga tutup tahun di harga USD 42,85,
bahkan berlanjut hingga pertengahan 2016 di harga USD 33,31. Sadar akan hal itu,
di tahun 2016 Indonesia berhasil mencetak angka pertumbuhan ekonomi yang lebih
baik di 5,02% dengan mendongkrak komponen konsumsi rumah tangga. Berdasarkan
data dari badan pusat statistik, penyumbang utama dari pertumbuhan ekonomi 2016
adalah konsumsi rumah tangga sebesar 56,50%, yang kemudian di ikuti oleh PMTB
sebesar 32,57% dan komponen ekspor barang dan jasa 19,08%.
Hingga di tahun 2017 dunia
khususnya Indonesia menghadapi tantangan baru yaitu dengan terpilihnya Presiden
Donald Trump yang penuh dengan ketidakpastian, kebijakannya yang kontroversial,
dan proteksionisme. Kemenangannya tidak hanya mengubah peta ekonomi-politik di
dalam negeri AS saja, tetapi juga konstelasi internasional yang akhirnya akan
berdampak pada Indonesia. Ketidakpastian dan proteksionisme ini menimbulkan
kesan yang sangat spekulatif sehingga membuat investor cenderung menempatkan
dananya pada aset rendah resiko dan memicu naiknya suku bunga AS yang memaksa
dana asing keluar dari negara – negara berkembang khususnya Indonesia yang
berakibat pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan di 2017 yang hanya sebesar 5,07%.
Tidak hanya sampai disitu,
tantangan dunia khususnya Indonesia semakin membesar di tahun 2018 atau lebih
tepatnya pada tanggal 22 Maret 2018 di mana Presiden Donald Trump mengumumkan
niatnya untuk mengenakan tarif sebesar USD 50 miliar untuk barang – barang Tiongkok
dengan alasan praktik perdagangan yang di lakukan dengan AS selama ini tidak
adil dan adanya pencurian kekayaan intelektual AS oleh Tiongkok. Tentunya hal
tersebut di respon oleh pemerintahan Xi Jinping dengan menerapkan tarif untuk
lebih dari 128 produk AS, di mana 2 diantaranya adalah daging babi yang akan
dikenakan tarif impor sebesar 25% dan 15% untuk produk buah kering dan segar.
Tidak hanya itu, Donald Trump pun sempat mengancam untuk mencabut fasilitas GSP bagi Indonesia dengan alasan merugikan pihak AS. Tentunya ini sangat merugikan bagi Indonesia mengingat Cina dan Amerika merupakan tujuan ekspor utama dan terbesar untuk Indonesia hingga saat ini, yang dapat kita lihat pada bulan Desember berdasarkan data Badan Pusat Statistik dimana ekspor Indonesia ke Cina dan Amerika masing – masing sebesar USD 1.669,1 juta dan USD 1.484,4 juta. Meskipun begitu, kebijakan GSP yang dikeluhkan oleh Donald Trump bukan sekedar emosi sesaat belaka. Sebab akibat dari fasilitas GSP ini, Amerika mengalami defisit dagang sebesar USD 56,6 Milyar di Januari 2018 yang juga merupakan defisit terbesar semenjak tahun 2008.
Tidak hanya itu, Donald Trump pun sempat mengancam untuk mencabut fasilitas GSP bagi Indonesia dengan alasan merugikan pihak AS. Tentunya ini sangat merugikan bagi Indonesia mengingat Cina dan Amerika merupakan tujuan ekspor utama dan terbesar untuk Indonesia hingga saat ini, yang dapat kita lihat pada bulan Desember berdasarkan data Badan Pusat Statistik dimana ekspor Indonesia ke Cina dan Amerika masing – masing sebesar USD 1.669,1 juta dan USD 1.484,4 juta. Meskipun begitu, kebijakan GSP yang dikeluhkan oleh Donald Trump bukan sekedar emosi sesaat belaka. Sebab akibat dari fasilitas GSP ini, Amerika mengalami defisit dagang sebesar USD 56,6 Milyar di Januari 2018 yang juga merupakan defisit terbesar semenjak tahun 2008.
Ancaman eksternal yang di buat oleh
Donald Trump ini tentunya akan sangat berdampak pada pasar ekspor Indonesia
yang juga akan berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Salah satunya yang
telah kita rasakan terkait harga tiket pesawat yang naik tajam akibat cash outflow yang mendongkrak nilai
tukar dolar hingga sempat ke level 15.325 rupiah pada tanggal 11 Oktober 2018. Pada
akhirnya semua itu membuat capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2018
sebesar 5,17% berdasarkan pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yang
dikutip oleh CNBC Indonesia, sekaligus membuktikan intevensi pemerintah yang
intensif dan daya tahan Indonesia yang cukup kuat. Meskipun perang dagang masih
eksis hingga sekarang, setidaknya sedikit mereda melihat perkembangan negosiasi
antara kedua belah pihak yang begitu intensif dalam mencari win win solution, bahkan Presiden Donald
Trump sendiri menunda kebijakannya untuk mengenakan tarif impor kepada Cina
sebanyak 2 kali. Akan tetapi ketidakpastian masih tetap menghantui pasar
terkait penyelesaian konflik dagang tersebut.
B. Kinerja Mata Uang Garuda
Secara tahunan kinerja mata uang
garuda terhadap dolar AS terus mengalami penurunan dari level terbaiknya di 8.500
rupiah (01/07/2011) seiring dengan membaiknya perekonomian Amerika semenjak
krisis subprime morgage di tahun
2008. Secara bulanan, rupiah terlihat sejak januari 2018 terus mengalami
penurunan hingga mencapai level 15.216,5 rupiah (21/10/2018), sebelum akhirnya
mulai menguat ke 14.952,5 rupiah (28/10/2018) seiring dengan kekawatiran tren
kenaikan suku bunga yang mereda. Secara harian, kinerja rupiah mulai menunjukkan
tren kenaikan semenjak 30 Oktober 2018 (Rp 15.223/dolar AS) hingga sekarang (15/03/2019)
di harga 14.259 rupiah. Meskipun break up
level resisten 14.232, akan tetapi masih menunjukkan tren penguatan dalam
jangka menengah, namun tetap harus berhati – hati mengingat dalam 3 bulan
terakhir terlihat trendless.
C. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019
Kinerja mata
uang rupiah sangat erat kaitannya dengan kinerja ekonomi Indonesia, mengingat
perdagangan internasional sangat gencar di lakukan oleh Indonesia, khususnya
dengan Tiongkok dan Amerika Serikat. Ketika kedua negara tujuan ekspor
Indonesia terbesar ini saling bergulat sakit, maka Indonesia pun ikut menjadi
korban dan sakit. Indonesia pun akan kehilangan permintaan dari kedua negara
tersebut, investor akan cenderung melakukan profit
taking dan beralih ke aset safe haven
di mana salah satunya dolar yang semakin membuat cadangan devisa memburuk yang
pada akhirnya membuat rupiah terpuruk yang mengakibatkan defisit perdagangan
semakin lebar dan berujung pada terganggunya kinerja ekonomi Indonesia. Untuk
itu, penulis mencoba untuk melihat prospek ekonomi Indonesia di 2019
berdasarkan korelasi antar dua variabel dengan rincian data sebagai berikut :
1. Tahun
2016 PDB 5,02% kurs -2,29%
((13.472,5 – 13.788)/13.788)*%
((13.472,5 – 13.788)/13.788)*%
2. Tahun
2017 PDB 5,07%, kurs -0,42%
((13.415,5 – 13.472)/13.472)*%
((13.415,5 – 13.472)/13.472)*%
3. Tahun
2018 PDB 5,17%, kurs 7,19%
((14.380 – 13.415)/13.415)*%
((14.380 – 13.415)/13.415)*%
Berdasarkan data diatas, maka
hasilnya menunjukkan korelasi yang kuat sebesar 98,9% dengan probabilitas sebesar
90,7% atau alpha 9,3%. Secara
teknikal, melihat pergerakan rupiah secara tahunan yang masih menunjukkan
penurunan dengan potensi tren tersebut masih terus berlanjut yang ditandai oleh
adanya indikasi pembentukan cup and
handle kedua, maka kemungkinan pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 pun
penulis memproyeksikan mengalami penurunan. Secara statistika, dengan asumsi
pergerakan rupiah secara rata – rata sebesar 340,5 per dolar atau 2,4% di tahun
2019, maka penulis memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,424%
atau 5,4%.
http://kazenime22.blogspot.com/2019/04/perspektif-dampak-fenomena-air-asia-dan.html
http://kazenime22.blogspot.com/2019/07/analisis-dan-perspektif-era-baru.html
http://kazenime22.blogspot.com/2019/04/perspektif-dampak-fenomena-air-asia-dan.html
http://kazenime22.blogspot.com/2019/07/analisis-dan-perspektif-era-baru.html
Comments
Post a Comment