AKUNTANSI KEUANGAN : PERBEDAAN 3 METODE PENILAIAN PERSEDIAAN BARANG DAGANGAN



A.  Memahami Pengertian Persediaan Barang Dagang
Persediaan barang dagang merupakan salah satu dari aset perusahaan yang seringkali dianggap material sebab aset ini lah yang membuat operasional perusahaan tetap berjalan secara kontinu. Tanpa adanya persediaan atau jumlah persediaan yang tidak mencukupi, tentu akan sangat mempengaruhi operasional perusahaan. 


Selain itu, nilai persediaan ini pun akan mempengaruhi kredibilitas perusahaan terkait pengelolaan biaya produksi atau biaya perolehan barang dagang perusahaan untuk memperoleh gross profit margin yang sesuai ekspektasi serta nantinya akan menjadi informasi terkait kemapuan perusahaan dalam menutupi biaya – biaya operasionalnya.


Persediaan disini tentunya terdapat dua jenis persediaan, dimana persediaan dalam perusahaan dagang dan persediaan dalam perusahaan manufaktur. Dalam perusahaan dagang, persediaan barang dagang hanya berasal dari kegiatan pembelian barang dagang yang sudah jadi dan siap di jual kembali. Sedangkan persediaan dalam perusahaan manufaktur terbagi atas tiga, yaitu persediaan barang mentah, persediaan barang dalam proses dan persediaan barang jadi. 


Persediaan barang mentah (raw material) yang kemudian diproduksi dengan menggunakan proses pencatatan dalam akuntansi biaya hingga menjadi persediaan barang jadi (finished goods/final goods) yang kemudian djual kepada pelanggan atau konsumen atau perusahaan dagang.


Terkait status kepemilikan barang yang masih dalam perjalanan (goods in transit) secara terperinci tergantung dari perjanjian atau persyaratan jual beli antar penjual dengan pembeli. Berikut beberapa persyaratan yang dimaksud :

1.   Shipping Point, yaitu persyaratan dimana pembeli menanggung biaya pengiriman barang dari gudang penjual ke gudang sendiri. Jadi barang secara sah dinyatakan berpindah kepemilikannya ketika barang telah keluar dari gudang penjual yang di pindahkan ke transportasi yang disewa pembeli untuk mengangkut barang tersebut.

2. Franco Gudang, yaitu dalam persyaratan ini penjual menanggung seluruh biaya pengiriman hingga sampai ke gudang pembeli. Dengan kata lain, pembeli hanya menunggu barang sampai saja. Status kepemilikan barangnya sah dinyatakan berpindah ketika barang sampai di tangan atau gudang pembeli.

3.   Free On Board (FOB), yaitu penjual menanggung biaya pengiriman dari pelabuhan muat miliknya sampai dengan pelabuhan bongkar yang digunakan oleh pembeli. Khusus penjual dari dalam negeri ke luar, maka penjual hanya menanggung biaya angkut di dalam negeri saja. Status kepemilikan barang dalam syarat jual – beli ini dinyatakan sah berpindah saat barang telah dikirim dari pelabuhan yang digunakan penjual untuk mengirim barang.

4.  Cost, Freight and Insurance (CFI), yaitu penjual hanya menanggung biaya pengiriman dan asuransi kerugian atas barang yang dikirim. Dengan kata lain, status barang sah berpindah kepemilikannya pada pembeli ketika keluar dari gudang penjual, jika terjadi sesuatu setelahnya pada barang tersebut maka penjual tidak akan bertanggung jawab, melainkan pihak yang mengirim dan agen asuransi yang akan bertanggungjawab.


B.  Sistim Pengendalian Internal Persediaan
Pengendalian internal atas persediaan tentunya sangat penting dan perlu diterapkan oleh perusahaan demi menjaga keakuratan informasi persediaan dan keamanan barang dagangannya. Pengendalian internal ini diterapkan sejak barang dibeli dari penjual.


Dalam laporan penerimaan barang yang bernomor urut tercetak disiapkan oleh bagian penerimaan barang yang kemudian dicocokan dengan formulir pemesanan pembelian yang asli. Kemudin harga serta kuantitas yang terdapat dalam formulir pemesanan pembelian tersebut dicocokkan dengan informasi yang tertera dalam faktur tagihan (invoice). 


Setelah proses pencocokan informasi dari ketiga dokumen tersebut valid, maka bagian akunting akan menerima dan mencatat informasi tersebut ke dalam catatan akuntansi. Lalu barang yagn dibeli tadi disimpan dalam gudang dimana aksesnya hanya diberikan kepada karyawan tertentu yang ditunjuk oleh perusahaan. Setiap barang yang akan keluar harus disertai atau dilengkapi dengan formulir permintaan barang yang telah di validasi.


Selain itu, penggunaan metode pencatatan perpektual mampu memberikan pengendalian internal atas persediaan secara efektif sebab informasi mengenai jumlah dari masing – masing jenis barang dagangan dapat segera tersedia dalam ledger pembantu untuk setiap masing – masing persediaan. 


Selain itu, untuk lebih menjamin keakuratan informasi persediaan biasanya dilakukan stock opname (SO) dimana dalam sistim perpektual nantinya jumlah dari stock opname ini akan dibandingkan dengan jumlah yang tercatat dalam ledger untuk mengetahui kekurangan atau jumlah fisik  atas persediaan barang dagangnya.


C. Contoh Metode Penilaian Persediaan Barang Dagang
Dalam metode penilaian persediaan dalam akuntansi sendiri terdapat 3 metode yang digunakan dalam perusahaan, yaitu metode FIFO (First in first out), LIFO (last in first out) dan metode average


Intinya, perbedaan dari ketiga metode ini ialah terkait nilai barang yang akan digunakan dalam perhitungan persediaan, apakah dimulai dari nilai barang yang pertama kali dimiliki perusahaan pada awal periode yang akan digunakan ketika terjadi penjualan (FIFO) atau nilai barang yang terakhir masuk yang akan digunakan (LIFO) atau nilai rata – ratanya yang akan digunakan. 


Akan tetapi, dalam PSAK 14 metode LIFO tidak diperbolehkan lagi untuk digunakan. Mengapa demikian? Singkatnya karena metode tersebut berpotensi tidak mencerminkan nilai dari perusahaan yang sesungguhnya.


Sebab dalam metode LIFO nilai pokok barang yang dimasukan dalam Harga Pokok Penjualan merupakan nilai dari persediaan terbaru sedangkan nilai persediaan akhir yang tercantum di neraca merupakan nilai persediaan barang yang lama. Akibatnya nilai persediaan tersebut tidak mencerminkan nilai sesungguhnya sesuai periode pelaporan keuangan tersebut.  


Ilustrasi secara lebih sederhananya, dalam metode LIFO, misalnya harga cabai di bulan januari Rp 20.000 per kilo dan dibulan februari Rp 30.000 per kilo, dalam laporan keuangan akhir februari dicatatlah persediaan itu dengan menggunakan harga di bulan januari sebesar Rp 20.000 per kilo padahal harga sesungguhnya di bulan februari Rp 30.000 per kilo, itulah yang dimaksud tidak mencerminkan nilai persediaan yang sesungguhnya terlebih jika perusahaan menggunakan sistim pencatatan periodik. Dan tentunya ini mempengaruhi akurasi dari posisi keuangan perusahaan tersebut.


Sebagai informasi tambahan saja, selain posisi keuangan juga pengaruhnya pada cerminan kinerja perusahaan di periode tersebut bahkan dapat menjadi suatu upaya rekayasa laba yang dilakukan perusahaan untuk menghindari atau mengurangi beban pajak, sebab dengan metode LIFO harga pokok penjualan diperiode tersebut menjadi lebih besar sehingga laba yang dihasilkan akan terlihat lebih kecil. Dalam penulisan kali ini, penulis akan memfokuskan pada metode FIFO dalam pencatatan persediaan, yaitu caranya sebagai berikut :

                                                        Perintah


                                                                   Penyelesaian

Klik atau tekan gambar. Semoga soal dan jawaban singkat dan sederhana diatas dapat dipahami dan bermanfaat ya. . . :-)

Comments

Popular posts from this blog

TEORI AKUNTANSI : MEMAHAMI SIFAT - SIFAT AKUNTANSI

ANGGARAN PERUSAHAAN : ANGGARAN PADA PERUSAHAAN JASA (SERVICE COMPANY BUDGET)

AKUNTANSI BIAYA : MEMAHAMI REWORK DAN SCRAP