AKUNTANSI KEUANGAN : SIAP - SIAP REVISI PSAK PENGARUHI PERBANKAN

By Indra Y.P : PSAK


A.  Revisi PSAK
Akuntansi merupakan sistim pencatatan yang dibuat sedemikian rupa untuk menciptakan sistim keuangan yang rapih dan seragam serta fleksibel, artinya sewaktu – waktu  dapat di revisi atau disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Di tahun 2020 nanti akan ada sebuah perbedaan dalam hitungan laporan keuangan bagi setiap emiten akibat aturan baru tentang Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71, 72, dan juga 73 yang akan mulai di implementasikan. 


Ketiga revisi PSAK ini merupakan suatu bentuk usaha dari otoritas terkait yaitu Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) untuk mengadopsi sistim dari International Financial Reporting Standards (IFRS), yaitu sistim yang dikeluarkan oleh otoritas akuntan internasional yang bernama International Accounting Standard Board (IASB).


Revisi dari standar akuntansi keuangan ini merupakan solusi yang dihasilkan untuk setiap perusahaan khususnya disektor keuangan atau finansial dalam menghadapi risiko kegagalan pembayaran kredit. Meski sebenarnya aturan – aturan ini telah terbit di tahun 2017, namun aturan – aturan tersebut baru akan berlaku efektif pada tahun 2020 mendatang. Masing – masing PSAK memiliki poin penting.



B.  Point Of Interest 3 PSAK
Aturan PSAK 71 menggantikan PSAK 50, 55 dan 60. Kemudian PSAK 72 menggantikan PSAK 23 dan 34. Selanjutnya PSAK 73 menggantikan PSAK 30. PSAK 71 terkait dengan instrumen keuangan mengadopsi IFRS 9, PSAK 72 yang mengadopsi IFRS 15 terkait pendapatan dari kontrak dengan pelanggan. Sedangkan PSAK 73 yang mengadopsi IFRS 16 berhubungan dengan sewa.


PSAK 71 memberikan panduan seputar pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan. Revisi dalam aturan ini terkait klasifikasi aset keuangan, termasuk poin penting tentang pencadangan atas penurunan nilai aset keuangan berupa piutang, pinjaman atau kredit. Standar atau aturan baru ini mengubah secara mendasar metode perhitungan dan penyediaan cadangan kerugian akibat kredit macet.


PSAK 72 memuat aturan tentang pengakuan  pendapatan dari kontrak dengan pelanggan. Aturan ini akan mengubah cara pengakuan pendapatan kontrak sehingga dapat dilakukan secara bertahap sepanjang kontrak berlaku (over the time) maupun pada titik tertentu (at a point of time). 


Sebagai informasi terkait pengakuan pendapatan dalam kontrak ini yang sempat viral dan dipermasalahkan dalam laporan keuangan perusahaan pelat merah Garuda Indonesia dalam kerja samanya dengan Mahata Aero Teknologi akibat pengakuan pendapatan yang diakui dimuka. 


Namun aturan perhitungan akutansi baru ini tidak dapat diterapkan pada setiap kontrak karena terdapat sejumlah syarat dan ketentuan. PSAK 72 ini memiliki dampak yang besar terhadap perusahaan properti, kontraktor, ritel sampai dengan maskapai penerbangan.

PSAK 73 memuat aturan tentang sewa, mengubah secara substansial pembukuan transaksi sewa dari sisi penyewa atau lessee. Berdasarkan aturan ini, pihak korporasi penyewa harus membukukan hampir seluruh transaksi sewa sebagai sewa finasial (finacial lease).

Sedangkan pembukuan untuk sewa operasi atau operating lease hanya dapat dilakukan atas transaksi sewa yang memenuhi 2 persyaratan yaitu dari sisi time frame berjangka pendek dibawah 12 bulan dan sisi value harus bernilai rendah. PSAK 73 memiliki dampak yang luas sebab transaksi sewa – menyewa merupakan suatu transaksi yang sangat umum dilakukan perusahaan.

C.  Dampak PSAK 71 Pada Perbankan
Dalam PSAK 71 mewajibkan setiap perbankan untuk memiliki cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang lebih besar dibanding dengan sebelumnya. Sebab mandat PSAK 71 mewajibkan perusahaan untuk menyediakan pencadangan sejak awal periode kredit. Berbeda halnya dengan PSAK 55 dimana kewajiban pencadangan baru muncul jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan risiko gagal bayar (incurred loss). 


Dengan kata lain, perusahaan finansial seperti perbankan harus menyediakan CKPN untuk semua kategori kredit dimulai dari yang berstatus lancar (performing loan), ragu – ragu (underperforming loan), sampai dengan yang macet (non-performing loan).


Khusus untuk performing loan, perbankan harus menyediakan CKPN berdasarkan ekspektasi kerugian kredit selama 12 bulan ke depan atau ekspektasi jangka pendek. Perbankan juga harus menyediakan CKPN lebih besar atas kredit macet yang juga lebih besar dari sebelumnya. Kewajiban untuk mengikuti PSAK baru ini akan berakibat pada penurunan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) serta laba perbankan.


Menurut Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo, emiten yang terdampak atas penerapan PSAK 71 adalah emiten perbankan dan juga emiten yang memiliki banyak investasi di sektor keuangan seperti pembelian bond. “Perbankan akan meningkatkan CKPN yang dimiliki. 


Hal itu akan membuat capital adequacy ratio perbankan menurun dan menekan bottom line (laba/rugi bersih) perbankan. Hal ini karena, emiten perbankan harus menghitung CKPN dengan menambahkan prediksi masa depan atau kerugian yang yang diperkirakan (excpected loss).” lanjut Tarko.


Oleh sebab itu, para bankir harus mempertimbangkan faktor masa depan seperti masa jatuh tempo kredit. “Dampaknya pada emiten perbankan bisa dilihat dalam laporan keuangan kuartal I/2020 nanti” jelas Tarko dihadapan sejumlah media.


Tidak kalah pentingnya terkait revisi aturan diatas ialah kesesuaiannya dengan prinsip syariah, apakah sesuai atau tidak. Atau secara dalam bahasa umum, apakah aturan – aturan di atas mengandung unsur -  unsur keburukan dalam sistimnya atau tidak. Prinsip syariah berarti prinsip yang diterapkan berdasarkan nilai – nilai kebaikan secara objektif, bukan subjektif. 


Tidak seperti bunga perbankan yang bersifat subjektif, artinya di anggap benar berdasarkan teori yang dibuat oleh pemikiran manusia saja (filsafat) (umumnya berasal dari Yunani Kuno, para penyembah Dewa-Dewi Yunani kuno, Zeus, Athena dan kawan - kawan). 


Contohnya terkait kredit konvensional yang menggunakan bunga yang tentunya haram, haram adalah sesuatu yang dilarang Allah SWT dan segala yang dilarang-Nya pastinya buruk atau lebih besar keburukannya. Lantas di mana buruknya kredit konvensional yang merupakan kegiatan usaha dari sektor finansial khususnya perbankan? 


Sederhana dan singkatnya secara logis, “anda meminjamkan uang sejumlah tertentu kepada seseorang, akan tetapi anda meminta mengembalikannya dengan jumlah yang lebih (umumnya dalam bentuk bunga)”. Bukankah pada hakikatnya itu sama dengan rentenir, akan tetapi mengapa rentenir di anggap buruk bahkan terkadang disebut dengan istilah lintah darat sementara kredit konvensional di anggap baik?.

Comments

Popular posts from this blog

TEORI AKUNTANSI : MEMAHAMI SIFAT - SIFAT AKUNTANSI

ANGGARAN PERUSAHAAN : ANGGARAN PADA PERUSAHAAN JASA (SERVICE COMPANY BUDGET)

AKUNTANSI BIAYA : MEMAHAMI REWORK DAN SCRAP