ISLAM DAN HIJRAH : YUK CARI REZEKI YANG HALAL , PASTI BERKAH



Fenomena hijrah, khususnya hijrah finansial dari keuangan berbasis konvensional menjadi keuangan berbasis syariah di kalangan umat Muslim khususnya di Indonesia belakangan ini seperti menjadi sebuah tren akibat dari gencarnya dakwah, khususnya dakwah secara persuasif. Tentu sebagai seorang muslim itu merupakan sebuah kemajuan karena sudah seharusnya kita mau berusaha dan berani mendobrak serta melangkah untuk menjadi lebih baik lagi dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya (bertakwa).


Akan tetapi, sungguh sangat disayangkan pada kenyataannya tidak sedikit dari kita sebagai umat muslim yang mengabaikan bahkan mengganggap hijrah sebagai tindakan yang terlalu berlebihan atau fanatik dalam beragama. Di sisi lain, ada juga yang menganggap hijrah itu hanya sekedar tampilan luar belaka, dari yang non berjenggot menjadi berjenggot, akan tetapi ahklak tetap rusak.


Contohnya ketika melihat dan atau mendengar seorang wanita berubah menjadi berpakaian gamis (tebal dan tertutup) atau seseorang yang meninggalkan serta menjauhi kegiatan riba (khususnya jika sebagai pekerja yang berhijrah), umumnya akan dianggap berlebihan atau fanatik. Padahal, perlu di catat bahwa itu bukanlah sebuah tindakan fanatik atau berlebihan melainkan sebuah kewajiban yang wajar atau dua komponen diantaranya dari Islam yang wajib dilakukan dan seharusnya dilaksanakan sebagaimana perintah sholat.


Bedanya kalau sholat merupakan perintah yang harus dikerjakan dalam bentuk ibadah kepada Allah SWT sedangkan menjauhi kegiatan riba atau hal – hal haram lainnya merupakan perintah dalam bentuk larangan yang harus di tinggalkan dan dijauhi yang jelas – jelas terdapat dalam Al-Quran serta sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam :


“Wahai Manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah – langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah 2 : 168)

“Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik – baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mu’minun 23 : 51)

“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberi asupan makanan yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya” (HR. Ahmad dan Tirmizi, dinyatakan shahih oleh Al-bani)


Dari ayat serta hadist di atas, sangat jelas bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk makan dari yang halal saja, dan menjauhi makan dari hasil yang haram di mana itu merupakan bagian dari langkah setan yang menjadi musuh bagi kita. Makan dari yang halal di sini tidak hanya menyangkut dari objeknya saja melainkan juga dari cara mendapatkannya.

Artinya halal di sini harus memenuhi kriteria objeknya yang baik serta cara mendapatkannya pun juga harus baik, jika salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi maka tidak termasuk dalam makanan atau harta yang halal. 

Sebenarnya, dari pernyataan orang – orang yang menganggap kegiatan hijrah itu berlebihan atau fanatik, dapat disimpulkan bahwa secara umum kita sebagai umat Islam telah mengalami kemunduran dalam beragama, sebab hal yang seharusnya wajar kini dianggap berlebihan atau fanatik dalam beragama, terlebih lagi jika dari penghasilan riba itu lebih menggiurkan dari pada penghasilan yang halal, maka umumnya orang akan lebih berat meninggalkannya. Sebenarnya hal ini pun telah di ingatkan melalui sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam :

"Akan datang suatu masa, orang - orang tidak peduli dari mana harta dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram. (HR. Muslim)


Di tambah lagi jika seseorang sedang kesulitan mencari rezeki atau rejeki, muncullah sebuah statement “nyari yang haram aja setengah mati, apalagi yang halal”. Ingatlah itu semua merupakan cobaan dan sebenarnya ini hanya masalah keimanan saja.

Jika ia benar – benar beriman, ia akan tetap meninggalkan dan menjauhinya. Mudah saja bagi orang mengatakan dirinya beriman, tapi apakah ia benar – benar beriman? Belum tentu. Sebagaimana firman Allah SWT berikut :


“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (2). Dan sungguh, Kami telah menguji orang – orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang – orang yang benar dan pasti mengetahui orang – orang yang dusta (3).” (QS. Al-Ankabut 29 : 2-3)


Contoh jika objeknya yang haram: daging babi  sementara kita menjualnya dengan cara yang baik dan benar, maka hasil penjualan tersebut haram. Sebaliknya, contoh jika caranya yang haram: ketika seorang pengusaha menjual mobil bekas dengan cara utang riba atau bekerjasama dengan lembaga ribawi sehingga tampak lebih menjangkau atau murah, meringankan dan tentunya menarik perhatian pembeli atau semisal seorang yang bekerja di tempat riba, maka uang atau harta yang diperoleh tersebut juga haram


Khusus pada contoh kedua diatas, beberapa orang sering berkata atau berdalih “yang penting kan bukan kita yang melakukan riba”. Memang benar kita tidak melakukan kegiatan usaha tersebut, namun perlu di ingat bahwa kita ikut dalam mendukung kegiatan riba tersebut, dengan kata lain kita memperoleh uang atau harta dari hasil mendukung kegiatan atau usaha yang tidak baik dan haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran serta sabda Rasulullah  shallallahu alaihi wa sallam berikut :


“...Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong – menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah 5 : 2)

“...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni – penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2 : 275)

Diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba, penulis riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya sama (berdosa).” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda “ sesungguhnya 1 dirham yang didapatkan oleh seorang laki – laki dari hasil riba lebih besar dosanya di sisi Allah daripada berzina 36 kali” (HR. Ibnu Abi Dunya. Al-Bani menyatakan derajat hadis ini shahih li ghairihi)


Dari kedua ayat Al-Quran yang kemudian diperjelas dengan sabda Rasulullah dalam hadist diatas, maka sangatlah jelas dan logis bahwa Allah SWT melarang riba, termasuk di dalamnya melarang untuk ikut berkontribusi dalam kegiatan riba tersebut, sebab pada hakikatnya sama saja, yaitu melakukan hal yang tidak baik dan haram (riba) serta membantu melakukan yang tidak baik dan haram (riba), dengan kata lain, sama – sama pelaku riba. Selain itu, dalam  salah satu hadist di atas, digambarkan betapa besarnya dosa riba hingga dapat menyebabkan seseorang  dimasukan ke dalam neraka. 


Mengingat riba saat ini merupakan salah satu tindakan atau aktivitas ekonomi yang secara terang – terangan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil sehingga status harta tersebut haram karena bukan merupakan haknnya. Logika sederhananya ketika seseorang memberi utang 10 juta rupiah, maka yang pantas ia dapatkan kembali ialah 10 juta rupiah, tidak boleh kurang  dan tidak boleh juga lebih (riba).


Perlu penulis tekankan disini bahwa penghasilan yang haram itu tidak hanya menyangkut riba ya, riba hanya salah satu dari sekian banyak hal – hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Menjual dengan cara menipu, memperoleh uang dari hasil berjudi atau memperoleh uang dari hasil berbuat dosa lainnya itu termasuk haram status uang atau harta yang diperolehnya. 

Hanya saja, penulis sengaja lebih menitikberatkan pada riba karena umumnya riba dianggap sebagai sesuatu yang teknis dan identik dengan Islam saja, sementara mencuri, menipu, berjudi dan sebagainya merupakan hal – hal yang secara umum memang dianggap buruk. Jadi, pilih mana. Kaya dari hasil yang haram atau hidup sederhana tapi berkah dari hasil yang halal? Silakan direnungi dan dijawab sendiri.

Jangan pernah merasa iri kepada mereka mengambil rezeki atau rejeki dari yang haram yang mungkin kaya raya atau lebih sukses dari kita secara dunia, apalagi sampai berperasangka buruk kepada-Nya. Bersyukurlah karena kita telah hijrah dan sadar akan syariat, namun jangan juga lebay dan sombong karena telah lebih dulu hijrah ya. Ingatlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini :

"Akan datang suatu masa, orang - orang tidak perduli dari mana harta dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram". (HR. Bukhari)


Ingat! Apa yang kita kerjakan dan kumpulkan di dunia ini ibarat kepemilikan saham. Jika yang kamu lakukan ialah kemaksiatan dan mengumpulkan yang haram maka itu akan menjadi saham mu sebagai bukti kepemilikan tempatmu di neraka. Jika yang di lakukan adalah ketaatan dan mengumpulkan yang halal maka itu akan menjadi saham mu sebagai bukti kepemilikan tempatmu di surga.

Sebagai salah satu bentuk latihan diri, tidak ada salahnya jika rutin setiap hari kita tanyakan pertanyaan di atas terhadap diri kita sendiri. Apabila terdapat kesalahan dalam tulisan ini, mohon di koreksi dan semoga penjelasan, ilustrasi dan pesan dalam tulisan ini dapat dipahami dan bermanfaat ya, khususnya untuk penulis pribadi, calon kekasih halal beserta anak – anak penulis, serta mereka yang penulis sayangi. Amin. :-)
 
 

Comments

Popular posts from this blog

TEORI AKUNTANSI : MEMAHAMI SIFAT - SIFAT AKUNTANSI

ANGGARAN PERUSAHAAN : ANGGARAN PADA PERUSAHAAN JASA (SERVICE COMPANY BUDGET)

AKUNTANSI BIAYA : METODE HARGA POKOK PESANAN (JOB ORDER COSTING METHOD)