ANALISIS DAN PERSPEKTIF : MELIHAT DAMPAK DAN POTENSI COVID-19 PADA PEREKONOMIAN
A. Kondisi Perekonomian Indonesia
Bagaikan
batu di tengah aliran sungai yang deras, perekonomian dunia terpukul tanpa
henti semenjak tahun 2017. Di awali dengan terpilihnya Presiden Amerika Serikat
ke 45 Donald Trump yang sangat kontroversial dengan berbagai cuitan dan
kebijakannya yang mengundang guncangan baik secara politik hingga berdampak
pada perekonomian dunia, kemudian mendeklarasikan perang dagang dengan berbagai
negara khususnya dengan Tiongkok. Belum selesai dengan permasalahan perang
dagang, tepatnya pada Desember 2019 muncul pandemi covid-19 atau virus corona
yang semakin mengkhawatirkan hingga saat ini.
Tidak
main – main, kekuatan mata uang garuda yang perlahan mulai membaik ke angka Rp 13.882,5
per dolar (31/12/2019) kini kembali terdepresiasi menembus Rp 16.575 per dolar
(23/03/2020). Ini memberikan indikasi adanya kepanikan pasar sehingga memicu
terjadinya capital outflow yang
deras. Tentunya ini wajar mengingat pandemi covid-19 ini menyebabkan berbagai
macam kegiatan ekonomi terhambat bahkan terhenti sehingga orang akan mengamankan
dananya dan menempatkannya pada wadah yang lebih aman atau lebih suka untuk
memegang cash. Bahkan seorang analis
membuat istilah Cash is king di tengah tekanan kuat akibat covid-19 ini,
sambil melihat peluang untuk menentukan entry
point.
Meskipun
begitu, rupiah cukup terapresiasi ke Rp 15.640 per dolar merespon berbagai
insentif dan stimulus yang diberikan oleh The Fed yang mengumumkan kebijakan unlimited
QE pada treasury bond dan surat
berharga berbasis mortgage,
khususnya kebijakan dari pemerintah Indonesia seperti penetapan alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan
pandemi covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun (Rp 75 triliun untuk industri
farmasi, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 70,1 triliun untuk
pemberian insentif pajak dan 150 triliun digunakan untuk pemulihan ekonomi
nasional dalam bentuk business financing).
Sebagai
informasi, pemerintah melakukan pemotongan corporate
income tax lebih awal sebesar 3% menjadi 22% di 2020 bahkan pemerintah
berencana untuk menurunkan kembali
sebesar 2% menjadi 20% di tahun 2022. Selain itu, di kutip dari CNN Indonesia
bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah telah merilis surat utang negara global (global bond) berdenominasi dolar AS
sebesar USD 4,3 miliar pada selasa (07/04) pagi. Ini tentunya dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas cadangan devisa serta mata uang
garuda, juga tentunya menjaga kepercayaan investor dengan memberikan opsi
investasi yang lebih aman atau low risk.
Sebelum melanjutkan, penulis ingin mengingatkan untuk tidak ikut andil dalam kegiatan investasi ini ya, sebab ini
merupakan produk investasi sekaligus
pembiayaan Riba.
Pada
tanggal 14 April 2020, Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan BI 7D Repo Rate di 4,5% dengan Deposit Facility dan Lending Facility di 3,75% dan 5,25%.
Tentunya ini memberikan gambaran secara general
bahwa pmerintah khususnya Bank Indonesia memberikan outlook yang stabil terhadap perekonomian Indonesia saat ini. Selain
itu, Bank Indonesia pun memangkas Giro
Wajib Minimum sebesar 200 bps untuk bank konvensional dan 50 bps untuk bank
syariah. “BI menurunkan GWM rupiah sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional
dan 50 bps untuk bank umum syariah. Berlaku 1 Mei 2020” imbuh Perry Warjiyo,
Gubernur Bank Indonesia. Ini merupakan katalis positif khususnya bagi industri
perbankan dalam menjaga likuiditasnya.
B. Bagaimana Prospek Ekonomi dan
Potensi Bisnis?
Meski
berbagai stimulus yang diberikan maupun yang akan diberikan oleh regulator,
tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu hanya menambal sementara atau memperlambat efek negatif yang timbul
akibat wabah covid-19 ini. Mulai timbulnya gelombang
PHK menunjukkan indikasi awal dampak covid-19 yang merupakan systemic risk.
Dikutip dari CNN Indonesia (13/04/2020), Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan B. Satrio Lelono mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai 2,8 juta. Secara lebih luas, tentunya ini akan mengakibatkan spending menurun yang tentunya berimbas pada kegiatan bisnis, termasuk di dalamnya UMKM dan mengakibatkan berkurangnya pendapatan negara dari pajak.
Dikutip dari CNN Indonesia (13/04/2020), Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan B. Satrio Lelono mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai 2,8 juta. Secara lebih luas, tentunya ini akan mengakibatkan spending menurun yang tentunya berimbas pada kegiatan bisnis, termasuk di dalamnya UMKM dan mengakibatkan berkurangnya pendapatan negara dari pajak.
Lembaga rating S&P telah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun menjadi 1,8% di tahun ini akibat wabah covid-19, sementara Bank Indonesia sedikit lebih optimis memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi melambat menjadi 2,3% di tahun ini sebelum meroket pada tahun 2021. Selain
itu, belum adanya kejelasan terkait antivirus ini membuat masalah pandemi
covid-19 ini masih jauh dari kata ‘berakhir’.
Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa akibat pandemi covid-19 proyeksi ekonomi dunia dipangkas dignifikan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berada dalam range 4,52 – 4,68% untuk quartal pertama tahun 2020. Tidak ada yang bisa menebak secara pasti. Sampai kapan pandemi ini berlangsung dan akan dibawa kemana ekonomi kita? Semua ditentukan oleh para ilmuwan dan tenaga medis.
Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa akibat pandemi covid-19 proyeksi ekonomi dunia dipangkas dignifikan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berada dalam range 4,52 – 4,68% untuk quartal pertama tahun 2020. Tidak ada yang bisa menebak secara pasti. Sampai kapan pandemi ini berlangsung dan akan dibawa kemana ekonomi kita? Semua ditentukan oleh para ilmuwan dan tenaga medis.
Meskipun
begitu, penulis melihat terdapat berbagai usaha yang diuntungkan dalam beberapa
waktu ke depan selama pandemi virus corona ini yaitu perusahaan farmasi khususnya milik pemerintah seperti Kimia Farma
terkait obat – obatan yang dibutuhkan khususnya chloroquine, perusahaan tekstil seperti Sri Rejeki
Isman Tbk berhubungan dengan permintaan masker dan APD, pemain ritel consumer goods
yang menjangkau masyarakat seperti Indomaret dan Alfamart serta beberapa UKM yang menjual produk
sembako terkait kebijakan PSBB oleh pemerintah sehingga orang akan lebih sering
berbelanja di dekat rumah saja.
Takut
itu pasti, namun jangan sampai panik. Justru di saat – saat seperti ini lah
saatnya melihat peluang, peluang yang
baik dan halal tentunya ya. Sebab, sudah banyak tekanan yang melanda
ekonomi secara merata sehingga membuat perekonomian mencapai puncaknya dan
memasuki fase penurunan dan ketika pandemi ini berakhir, maka ekonomi
secara agregat akan masuk kembali pada fase pertumbuhan dimana di fase inilah merupakan
fase yang tepat untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Semoga
bermanfaat ya... :-)
Comments
Post a Comment